[BORNEO-L] KMP - Kalbar, Setelah Vi
From: apakabar@clark.net
Date: Sat Mar 22 1997 - 16:44:00 EST
From: John MacDougall <
apakabar@clark.net>
Received: (from apakabar@localhost) by explorer2.clark.net (8.8.5/8.7.1) id UAA13274 for
reg.indonesia@conf.igc.apc.org; Sat, 22 Mar 1997 20:44:06 -0500 (EST)
Subject: [BORNEO-L] KMP - Kalbar, Setelah Virus Jeruk
Forwarded message:
From
owner-borneo-l@indopubs.com Sat Mar 22 20:16:33 1997
Date: Sat, 22 Mar 1997 18:15:31 -0700 (MST)
Message-Id: <
199703230115.SAA24615@indopubs.com>
To:
apakabar@clark.net
From:
borneo-l@indopubs.com
Subject: [BORNEO-L] KMP - Kalbar, Setelah Virus Jeruk
Sender:
owner-borneo-l@indopubs.com
BORNEO-L
Kompas Online
Rabu, 19 Maret 1997
Kalbar, Setelah Virus Jeruk
Kalimantan Barat mempunyai luas wilayah 146.760 kilometer persegi,
lebih luas dibanding seluruh Pulau Jawa dan Madura. Tentu saja daerah
ini menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar artinya bagi
kemakmuran bangsa.
Masih segar di ingatan, Kalimantan Barat terkenal sebagai lumbung
jeruk. Hampir seluruh penduduk di Tanah Air mengenal jeruk Kalimantan
Barat atau sering juga disebut jeruk Pontianak. Namun, rusaknya tata
niaga jeruk serta serangan virus yang maha dahsyat membuat kejayaan
jeruk Kalimantan Barat tinggal kenangan.
Meski demikian, ekonomi daerah ini tidak terguncang oleh memudarnya
kejayaan jeruk. Potensi jeruk belum seberapa dibandingkan potensi alam
lain seperti hutan misalnya.
Luas kawasan hutan di daerah ini berdasarkan Tata Guna Hutan
Kesepakatan tahun 1995 adalah 9,1 juta hektar. Sebagian besar dari
luas hutan itu adalah hutan produksi terbatas dengan luas 3,1 juta
hektar. Selebihnya adalah hutan lindung, hutan suaka alam, hutan
produksi tetap, dan hutan konversi.
Tidak mengherankan kalau Kalimantan Barat merupakan salah satu
produsen kayu terbesar di Tanah Air. Kayu dan hasil-hasilnya seperti
plywood merupakan produk andalan utama Kalimantan Barat. Data tahun
1995 menyebutkan, ekspor kayu atau hasil-hasilnya menguasai 70 persen
ekspor Kalimantan Barat dengan volume mencapai satu juta meter kubik
atau senilai 489 juta dollar AS (sekitar Rp 1,17 trilyun). Belum lagi
ekspor dari produk-produk pertanian seperti kelapa sawit, kopi, lada,
kopra, dan komoditas lainnya.
Itu semua membuat ekonomi Kalimantan Barat melaju dengan kencang. Laju
pertumbuhan ekonomi Kalimantan Barat tahun 1995 mencapai 9,50 persen,
padahal tahun sebelumnya hanya 7,54 persen. Melihat prospek ekonomi
yang begitu cerah, Wakil Gubernur Kalimantan Barat Bidang Ekbang,
Syarifuddin Lubis optimis, pertumbuhan ekonomi Kalimantan Barat dalam
Repelita VI ini sebesar 10,90 persen dapat tercapai.
Kenyataan ini membuat Kalimantan Barat sebagai daerah tujuan mencari
nafkah. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990, laju pertumbuhan
penduduk di Kalimantan Barat dalam kurun waktu 10 tahun, 1980-1990
tercatat 2,55 persen atau lebih laju dari rata-rata nasional, 1,97
persen. Tingginya laju pertumbuhan penduduk itu bukan semata-mata
pertumbuhan alamiah seperti kelahiran, namun andil transmigrasi cukup
berarti.
***
SEJAK dulu, Kalimantan Barat menjadi tempat perantauan yang ideal.
Karena itu dari segi kependudukan, Kalimantan Barat dikenal sebagai
daerah yang bersifat heterogen. Hampir seluruh kelompok etnik atau
suku di Tanah Air mendiami daerah ini.
Menurut Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadri, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
ilmu Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, daya
tarik etnik dari luar Kalimantan Barat datang ke daerah ini selain
karena tersedia areal lahan yang luas dan sumber daya alam yang besar,
daerah ini memiliki prospek ekonomi dan perdagangan yang sangat
menggiurkan di masa depan.
Kondisi geografis dan transportasi Kalimantan Barat dinilai sangat
strategis karena dekat dengan pusat-pusat ekonomi dunia, seperti
Singapura, Hongkong dan Malaysia. Bahkan, jalan darat dari Pontianak
bisa tembus ke Kuching, Malaysia. Itu semua membuat Kalimantan Barat
menjadi tempat yang memikat sebagai daerah transit bagi Tenaga Kerja
Indonesia dan wisatawan domestik maupun mancanegara.
Dampak dari semua itu membuat komposisi penduduk Kalimantan Barat
menjadi berubah. Selain suku asli, Dayak dan Melayu, Kalimantan Barat
juga telah diisi oleh suku-suku lainnya seperti Kawanua (Sulawesi
Utara), Bugis, Madura, Minangkabau, Banjar, Flores, Timor, Jawa, Bali,
dan Sunda.
Heterogenitas etnis di Kalimantan Barat, menurut Syarif, sangat
memungkinkan karena suku Dayak sebagai suku asli atau sering disebut
"Melayu Tua" memiliki sifat yang terbuka, bersahabat, dan percaya
terhadap orang lain, termasuk orang luar dari Kalimantan Barat, bahkan
orang asing.
Orang Dayak menurut kesan umum, teguh dalam pendirian, sabar, dan
bersahabat. Orang Dayak tidak mudah marah, tetapi setelah melampaui
batas kesabaran karena perlakuan yang tidak adil dan tindakan yang
menghancurkan harga diri, kemarahan mereka dapat meledak secara
massal.
Data dari kantor Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Kalimantan
Barat menunjukkan, suku Dayak masih tetap mendominasi kependudukan
daerah itu. Dari sekitar 3,7 juta penduduk Kalimantan Barat, 42 persen
berasal dari suku Dayak, 39 persen dari suku Melayu, 12 persen dari
suku Cina dan selebihnya adalah suku Jawa, Madura, Sunda, dan lainnya.
***
HANYA sayang, heterogenitas penduduk di Kalimantan Barat belum dapat
menjadi perekat untuk membangun daerah itu.
Pertikaian antaretnis yang melibatkan suku Dayak dan suku Madura di
Kalimantan Barat misalnya telah mencuatkan sembilan kali peristiwa
besar sejak 1968. Peristiwa itu telah mengakibatkan ratusan bahkan
mungkin ribuan jiwa menjadi korban, belum lagi kerugian fisik.
Dua peristiwa terakhir, yakni tanggal 29 Desember 1996 di Sanggau
Ledo, Kabupaten Sambas dan 28 Januari 1997 di Siantan, Kabupaten
Pontianak. Akibat pertikaian yang panjang itu, roda ekonomi Kalimantan
Barat sempat mengalamai stagnasi. Tidak sedikit penduduk yang
kehilangan harta benda, bahkan kehilangan daya beli.
Beberapa proyek pemerintah mengalami kelambatan penyelesaian akibat
langkanya tenaga kerja. Banyak penduduk merasa takut, stres, khawatir,
bahkan mengalami gangguan jiwa, melihat begitu dahsyatnya pertikaian
itu.
Setiap pertikaian selalu mengguncang stabilitas keamanan daerah.
Pertikaian itu selalu merembet ke orang-orang yang tak bersalah.
Akibatnya, gelombang pengungsian mengalir deras untuk melindungi diri
dari amukan massa yang membabi buta.
Tahun 1979, setelah dibuatkan upacara ritual dalam adat Dayak di Desa
Sendoren, sebagian pengungsi diperbolehkan kembali ke desa asalnya.
Untuk mengenang perjanjian damai itu dibuatkan tugu perdamaian
berbentuk lima pilar menjulang ke atas dan lambang burung Garuda
Pancasila. Di dinding tugu itu terlihat relif celurit dan mandau
bergandengan. Sejumlah tokoh masyarakat Dayak dan Madura berikrar
untuk hidup berdampingan secara damai satu sama lainnya.
"Orang Dayak yang melanggar ikrar akan dikenai hukum adat dan diproses
menurut hukum negara, sedangkan Madura yang melanggar tidak
diperkenankan lagi tinggal di kampung tersebut," demikian salah satu
bunyi ikrar tersebut.
Tetapi mengapa pertikaian berjalan terus? Bupati Sambas Tarya Aryanto
mengakui, butuh waktu panjang untuk mendamaikan pihak yang bertikai.
Jangka pendek yang diupayakan adalah meminta mereka untuk "gencatan
senjata" agar masyarakat bisa hidup tenang. Langkah selanjutnya baru
akan dibahas.
***
SUPAYA Kalimantan Barat tidak selalu berdebar, akar permasalahan harus
dicari. Dalam kaitan ini, Universitas Tanjungpura (Untan) bersama
lembaga-lembaga lain yang berkompeten akan berupaya mencari akar
permasalahan yang terjadi di bumi khatulistiwa itu secara alamiah.
Dugaan karena adanya perbedaan budaya dan agama ditepis pakar
sosiologi Untan, Prof Syarif Ibrahim Alqadri. Kebiasaan orang Madura
membawa senjata tajam maupun menggunakannya dalam menyelesaikan
persoalan, bukanlah penyebab. Orang Bugis punya kebiasaan serupa dan
tidak terjadi konflik dengan orang Dayak. Jadi, perbedaan budaya tidak
cukup beralasan untuk menjadi penyebabnya. Tentang perbedaan agama?
Ini pun ditepis oleh Syarif, mengingat konflik juga tidak terjadi
antara Dayak dengan Jawa atau Bugis yang mayoritas Islam.
Dugaan paling kuat adalah adanya kompetisi dalam bidang sosial ekonomi
antara penduduk setempat dengan perantau dari luar Kalimantan Barat,
khususnya dalam sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan,
dan sektor informal lainnya.
Ini bisa terjadi karena tidak jarang proyek-proyek ekonomi yang
ditempatkan di daerah ini dimiliki atau dipimpin penduduk dari luar
Kalimantan Barat. Tampaknya penduduk setempat hanya memiliki peluang
di dalam lapangan kerja pada tingkat menengah ke bawah atau pada
tingkat kerja kasar. Lowongan ini pun masih harus diperebutkan dengan
penduduk perantau lainnya.
Ada kesan lain yang cukup kuat. Menunjuk pada komposisi jumlah
penduduk Kalimantan Barat, suku Dayak tampaknya menilai wajar kalau
mereka bisa duduk di jajaran elite pemerintahan tingkat satu. Bukan
hanya itu, dari tujuh Dati II di Kalimantan Barat, kini hanya satu
kabupaten yang bupatinya dijabat suku Dayak, yakni di Kapuas Hulu.
Lalu bagaimana kunci menyelesaikan persoalan? Menurut Syarif,
kebijaksanaan yang perlu dilakukan secara langsung adalah mendirikan
dan memfungsikan forum komunikasi budaya antarkelompok etnik,
memperluas keanggotaan dan jangkauan, serta meningkatkan fungsi dan
tanggung jawab Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom
PKB) di daerah ini. Semua itu agar Kalimantan Barat tidak pernah lagi
membuat hati berdebar. Kejadian itu, pedih rasanya. (rus)
0 komentar:
Poskan Komentar