Senin, 20 Desember 2010

BORNEO-L] KMP - Kalbar, Setelah Vi

[BORNEO-L] KMP - Kalbar, Setelah Vi

From: apakabar@clark.net
Date: Sat Mar 22 1997 - 16:44:00 EST


From: John MacDougall <apakabar@clark.net>
Received: (from apakabar@localhost) by explorer2.clark.net (8.8.5/8.7.1) id UAA13274 for reg.indonesia@conf.igc.apc.org; Sat, 22 Mar 1997 20:44:06 -0500 (EST)
Subject: [BORNEO-L] KMP - Kalbar, Setelah Virus Jeruk

Forwarded message:
From owner-borneo-l@indopubs.com Sat Mar 22 20:16:33 1997
Date: Sat, 22 Mar 1997 18:15:31 -0700 (MST)
Message-Id: <199703230115.SAA24615@indopubs.com>
To: apakabar@clark.net
From: borneo-l@indopubs.com
Subject: [BORNEO-L] KMP - Kalbar, Setelah Virus Jeruk
Sender: owner-borneo-l@indopubs.com

BORNEO-L

   Kompas Online
                            Rabu, 19 Maret 1997
                                      
Kalbar, Setelah Virus Jeruk

   Kalimantan Barat mempunyai luas wilayah 146.760 kilometer persegi,
   lebih luas dibanding seluruh Pulau Jawa dan Madura. Tentu saja daerah
   ini menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar artinya bagi
   kemakmuran bangsa.
   
   Masih segar di ingatan, Kalimantan Barat terkenal sebagai lumbung
   jeruk. Hampir seluruh penduduk di Tanah Air mengenal jeruk Kalimantan
   Barat atau sering juga disebut jeruk Pontianak. Namun, rusaknya tata
   niaga jeruk serta serangan virus yang maha dahsyat membuat kejayaan
   jeruk Kalimantan Barat tinggal kenangan.
   
   Meski demikian, ekonomi daerah ini tidak terguncang oleh memudarnya
   kejayaan jeruk. Potensi jeruk belum seberapa dibandingkan potensi alam
   lain seperti hutan misalnya.
   
   Luas kawasan hutan di daerah ini berdasarkan Tata Guna Hutan
   Kesepakatan tahun 1995 adalah 9,1 juta hektar. Sebagian besar dari
   luas hutan itu adalah hutan produksi terbatas dengan luas 3,1 juta
   hektar. Selebihnya adalah hutan lindung, hutan suaka alam, hutan
   produksi tetap, dan hutan konversi.
   
   Tidak mengherankan kalau Kalimantan Barat merupakan salah satu
   produsen kayu terbesar di Tanah Air. Kayu dan hasil-hasilnya seperti
   plywood merupakan produk andalan utama Kalimantan Barat. Data tahun
   1995 menyebutkan, ekspor kayu atau hasil-hasilnya menguasai 70 persen
   ekspor Kalimantan Barat dengan volume mencapai satu juta meter kubik
   atau senilai 489 juta dollar AS (sekitar Rp 1,17 trilyun). Belum lagi
   ekspor dari produk-produk pertanian seperti kelapa sawit, kopi, lada,
   kopra, dan komoditas lainnya.
   
   Itu semua membuat ekonomi Kalimantan Barat melaju dengan kencang. Laju
   pertumbuhan ekonomi Kalimantan Barat tahun 1995 mencapai 9,50 persen,
   padahal tahun sebelumnya hanya 7,54 persen. Melihat prospek ekonomi
   yang begitu cerah, Wakil Gubernur Kalimantan Barat Bidang Ekbang,
   Syarifuddin Lubis optimis, pertumbuhan ekonomi Kalimantan Barat dalam
   Repelita VI ini sebesar 10,90 persen dapat tercapai.
   
   Kenyataan ini membuat Kalimantan Barat sebagai daerah tujuan mencari
   nafkah. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990, laju pertumbuhan
   penduduk di Kalimantan Barat dalam kurun waktu 10 tahun, 1980-1990
   tercatat 2,55 persen atau lebih laju dari rata-rata nasional, 1,97
   persen. Tingginya laju pertumbuhan penduduk itu bukan semata-mata
   pertumbuhan alamiah seperti kelahiran, namun andil transmigrasi cukup
   berarti.
   
                                    ***
                                      
   SEJAK dulu, Kalimantan Barat menjadi tempat perantauan yang ideal.
   Karena itu dari segi kependudukan, Kalimantan Barat dikenal sebagai
   daerah yang bersifat heterogen. Hampir seluruh kelompok etnik atau
   suku di Tanah Air mendiami daerah ini.
   
   Menurut Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadri, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
   ilmu Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, daya
   tarik etnik dari luar Kalimantan Barat datang ke daerah ini selain
   karena tersedia areal lahan yang luas dan sumber daya alam yang besar,
   daerah ini memiliki prospek ekonomi dan perdagangan yang sangat
   menggiurkan di masa depan.
   
   Kondisi geografis dan transportasi Kalimantan Barat dinilai sangat
   strategis karena dekat dengan pusat-pusat ekonomi dunia, seperti
   Singapura, Hongkong dan Malaysia. Bahkan, jalan darat dari Pontianak
   bisa tembus ke Kuching, Malaysia. Itu semua membuat Kalimantan Barat
   menjadi tempat yang memikat sebagai daerah transit bagi Tenaga Kerja
   Indonesia dan wisatawan domestik maupun mancanegara.
   
   Dampak dari semua itu membuat komposisi penduduk Kalimantan Barat
   menjadi berubah. Selain suku asli, Dayak dan Melayu, Kalimantan Barat
   juga telah diisi oleh suku-suku lainnya seperti Kawanua (Sulawesi
   Utara), Bugis, Madura, Minangkabau, Banjar, Flores, Timor, Jawa, Bali,
   dan Sunda.
   
   Heterogenitas etnis di Kalimantan Barat, menurut Syarif, sangat
   memungkinkan karena suku Dayak sebagai suku asli atau sering disebut
   "Melayu Tua" memiliki sifat yang terbuka, bersahabat, dan percaya
   terhadap orang lain, termasuk orang luar dari Kalimantan Barat, bahkan
   orang asing.
   
   Orang Dayak menurut kesan umum, teguh dalam pendirian, sabar, dan
   bersahabat. Orang Dayak tidak mudah marah, tetapi setelah melampaui
   batas kesabaran karena perlakuan yang tidak adil dan tindakan yang
   menghancurkan harga diri, kemarahan mereka dapat meledak secara
   massal.
   
   Data dari kantor Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Kalimantan
   Barat menunjukkan, suku Dayak masih tetap mendominasi kependudukan
   daerah itu. Dari sekitar 3,7 juta penduduk Kalimantan Barat, 42 persen
   berasal dari suku Dayak, 39 persen dari suku Melayu, 12 persen dari
   suku Cina dan selebihnya adalah suku Jawa, Madura, Sunda, dan lainnya.
   
                                    ***
                                      
   HANYA sayang, heterogenitas penduduk di Kalimantan Barat belum dapat
   menjadi perekat untuk membangun daerah itu.
   
   Pertikaian antaretnis yang melibatkan suku Dayak dan suku Madura di
   Kalimantan Barat misalnya telah mencuatkan sembilan kali peristiwa
   besar sejak 1968. Peristiwa itu telah mengakibatkan ratusan bahkan
   mungkin ribuan jiwa menjadi korban, belum lagi kerugian fisik.
   
   Dua peristiwa terakhir, yakni tanggal 29 Desember 1996 di Sanggau
   Ledo, Kabupaten Sambas dan 28 Januari 1997 di Siantan, Kabupaten
   Pontianak. Akibat pertikaian yang panjang itu, roda ekonomi Kalimantan
   Barat sempat mengalamai stagnasi. Tidak sedikit penduduk yang
   kehilangan harta benda, bahkan kehilangan daya beli.
   
   Beberapa proyek pemerintah mengalami kelambatan penyelesaian akibat
   langkanya tenaga kerja. Banyak penduduk merasa takut, stres, khawatir,
   bahkan mengalami gangguan jiwa, melihat begitu dahsyatnya pertikaian
   itu.
   
   Setiap pertikaian selalu mengguncang stabilitas keamanan daerah.
   Pertikaian itu selalu merembet ke orang-orang yang tak bersalah.
   Akibatnya, gelombang pengungsian mengalir deras untuk melindungi diri
   dari amukan massa yang membabi buta.
   
   Tahun 1979, setelah dibuatkan upacara ritual dalam adat Dayak di Desa
   Sendoren, sebagian pengungsi diperbolehkan kembali ke desa asalnya.
   Untuk mengenang perjanjian damai itu dibuatkan tugu perdamaian
   berbentuk lima pilar menjulang ke atas dan lambang burung Garuda
   Pancasila. Di dinding tugu itu terlihat relif celurit dan mandau
   bergandengan. Sejumlah tokoh masyarakat Dayak dan Madura berikrar
   untuk hidup berdampingan secara damai satu sama lainnya.
   
   "Orang Dayak yang melanggar ikrar akan dikenai hukum adat dan diproses
   menurut hukum negara, sedangkan Madura yang melanggar tidak
   diperkenankan lagi tinggal di kampung tersebut," demikian salah satu
   bunyi ikrar tersebut.
   
   Tetapi mengapa pertikaian berjalan terus? Bupati Sambas Tarya Aryanto
   mengakui, butuh waktu panjang untuk mendamaikan pihak yang bertikai.
   Jangka pendek yang diupayakan adalah meminta mereka untuk "gencatan
   senjata" agar masyarakat bisa hidup tenang. Langkah selanjutnya baru
   akan dibahas.
   
                                    ***
                                      
   SUPAYA Kalimantan Barat tidak selalu berdebar, akar permasalahan harus
   dicari. Dalam kaitan ini, Universitas Tanjungpura (Untan) bersama
   lembaga-lembaga lain yang berkompeten akan berupaya mencari akar
   permasalahan yang terjadi di bumi khatulistiwa itu secara alamiah.
   
   Dugaan karena adanya perbedaan budaya dan agama ditepis pakar
   sosiologi Untan, Prof Syarif Ibrahim Alqadri. Kebiasaan orang Madura
   membawa senjata tajam maupun menggunakannya dalam menyelesaikan
   persoalan, bukanlah penyebab. Orang Bugis punya kebiasaan serupa dan
   tidak terjadi konflik dengan orang Dayak. Jadi, perbedaan budaya tidak
   cukup beralasan untuk menjadi penyebabnya. Tentang perbedaan agama?
   Ini pun ditepis oleh Syarif, mengingat konflik juga tidak terjadi
   antara Dayak dengan Jawa atau Bugis yang mayoritas Islam.
   
   Dugaan paling kuat adalah adanya kompetisi dalam bidang sosial ekonomi
   antara penduduk setempat dengan perantau dari luar Kalimantan Barat,
   khususnya dalam sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan,
   dan sektor informal lainnya.
   
   Ini bisa terjadi karena tidak jarang proyek-proyek ekonomi yang
   ditempatkan di daerah ini dimiliki atau dipimpin penduduk dari luar
   Kalimantan Barat. Tampaknya penduduk setempat hanya memiliki peluang
   di dalam lapangan kerja pada tingkat menengah ke bawah atau pada
   tingkat kerja kasar. Lowongan ini pun masih harus diperebutkan dengan
   penduduk perantau lainnya.
   
   Ada kesan lain yang cukup kuat. Menunjuk pada komposisi jumlah
   penduduk Kalimantan Barat, suku Dayak tampaknya menilai wajar kalau
   mereka bisa duduk di jajaran elite pemerintahan tingkat satu. Bukan
   hanya itu, dari tujuh Dati II di Kalimantan Barat, kini hanya satu
   kabupaten yang bupatinya dijabat suku Dayak, yakni di Kapuas Hulu.
   
   Lalu bagaimana kunci menyelesaikan persoalan? Menurut Syarif,
   kebijaksanaan yang perlu dilakukan secara langsung adalah mendirikan
   dan memfungsikan forum komunikasi budaya antarkelompok etnik,
   memperluas keanggotaan dan jangkauan, serta meningkatkan fungsi dan
   tanggung jawab Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom
   PKB) di daerah ini. Semua itu agar Kalimantan Barat tidak pernah lagi
   membuat hati berdebar. Kejadian itu, pedih rasanya. (rus)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar